Oleh: Siera Syailendra, Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palembang
MONPERA.ID, Palembang – Jurnalisme kebangsaan atau nation journalism bukanlah corong pemerintah. Ia lahir dari semangat kritis dan konstruktif untuk mengawal kemajuan bangsa.
Jurnalisme kebangsaan adalah cara berpikir jurnalis yang terpanggil untuk mengawasi, mengawal, dan menuntaskan persoalan bangsa dari akar permasalahannya, dimulai dari hal-hal paling mendasar. Tujuan akhirnya, publik benar-benar terlayani dan masalah bangsa benar-benar selesai.
Saya masih ingat, dahulu saya memandang jurnalisme sebagai pilar demokrasi, kekuatan yang mampu mengungkap kebenaran dan mendorong perubahan. Namun, seiring waktu saya menyadari, jurnalisme kini sering bergeser dari misi awalnya.
Alih-alih menjadi penjaga kepentingan publik, banyak media justru terperangkap dalam pusaran sensasi, konflik, dan eksploitasi aib.
Saya pernah meliput kemiskinan di sebuah desa terpencil. Warganya hidup tanpa air bersih, listrik, dan pendidikan layak. Tapi berita semacam itu kini kalah oleh judul-judul provokatif demi mendulang klik.
Kasus korupsi, perselingkuhan, hingga konflik elite politik ditulis berulang-ulang tanpa kedalaman analisis. Saya sendiri pernah diminta editor untuk “memperpanas” narasi yang sejatinya tidak substansial — hanya agar viral.
Media terlalu gemar membongkar kebobrokan tanpa menuntun pembaca pada solusi. Ketika perusahaan mencemari sungai, pemberitaan berhenti di kecaman. Tak ada pertanyaan lanjutan: bagaimana memperbaikinya? adakah teknologi atau kebijakan yang bisa mencegah ini terulang?
Banjir dan sungai kotor diberitakan setiap tahun, tetapi tetap terjadi setiap tahun. Isu agama, suku, dan politik dibingkai secara hitam-putih, memicu amarah, tanpa ruang diskusi yang solutif.
Skandal korupsi dan pelanggaran HAM ramai di awal, lalu menghilang. Publik bertanya-tanya: apa kelanjutannya? adakah perubahan nyata?
Dari Sekadar Kritik ke Jurnalisme Solusi
Di tengah keputusasaan itu, saya menemukan harapan dalam Nation Journalism. Ini bukan sekadar jurnalisme yang memaparkan masalah, melainkan yang mencari jalan keluar, mengeksplorasi bagaimana masalah serupa diselesaikan di tempat lain, atau bagaimana bangsa ini bisa bergerak ke depan.
Jurnalisme kebangsaan mengungkap respons terhadap masalah, bukan hanya mengeluh, tapi menelusuri solusi yang terbukti. Ia kritis terhadap solusi, tidak asal memuji, tapi mengevaluasi efektivitasnya. Ia juga memberi inspirasi, menumbuhkan keyakinan bahwa perubahan mungkin terjadi.
Saya pernah meliput kasus stunting di sebuah kabupaten. Alih-alih berhenti pada angka malnutrisi, kami mencari daerah lain yang berhasil menurunkan stunting.
Kami menemukan desa yang sukses lewat pendampingan ibu hamil dan kerja sama dengan puskesmas. Liputan kami bukan sekadar “berita masalah”, melainkan “peta jalan”. Hasilnya, pemerintah daerah mengadopsi model itu, dan dua tahun kemudian angka stunting turun signifikan. Inilah bukti: ketika jurnalisme solusi dijalankan, perubahan nyata bisa terjadi.
Menuntut Hasil Konkret bagi Bangsa
Publik sudah jenuh dengan berita negatif tanpa hasil konkret. Mereka lelah menjadi penonton dari drama tanpa akhir.
Jurnalisme kebangsaan memberi energi untuk bertindak. Ketika media tidak hanya mengkritik tapi juga menawarkan solusi, pemerintah dan korporasi terdorong untuk berubah.
Dengan fokus pada solusi, media juga bisa mengurangi polarisasi, mengalihkan perhatian dari yang memecah belah ke hal-hal yang mempersatukan.
Namun, melaksanakan jurnalisme solusi tidaklah mudah. Tekanan bisnis membuat liputan semacam ini dianggap kurang “menjual”. Ia butuh riset, waktu, dan kesabaran, sesuatu yang jarang dihargai di ruang redaksi hari ini.
Tiga Senjata Jurnalis: Agenda, Akuntabilitas, dan Pengetahuan
Jurnalis memang tidak punya kewenangan eksekusi. Tapi kami punya kekuatan strategis yang tak dimiliki aktor lain: memaksa perubahan melalui tekanan publik.
Masalah bangsa sering tak selesai bukan karena tak ada solusi, tetapi karena lemahnya tekanan dan akuntabilitas. Di sinilah peran jurnalis sebagai katalisator solusi dengan tiga senjata utama:
Agenda Setting – menentukan masalah mana yang harus diprioritaskan publik.
Accountability Pressure – menagih janji solusi hingga tuntas.
Knowledge Bridging – menjembatani ide lokal dengan pembuat kebijakan.
Kami bukan pembangun tanggul, tapi kami bisa menekan pihak yang lalai membangunnya.
“Kami tak bisa menggantikan pemerintah membersihkan sungai, tapi kami bisa memastikan sekoci penyelamat tersedia saat banjir datang, dan mencatat nama mereka yang mencuri dayungnya.” Itulah misi sejati jurnalisme kebangsaan: mengawal dari gelapnya masalah hingga terangnya penyelesaian.
Peran Pemerintah dan Masyarakat
Pemerintah perlu bertransformasi dari birokrasi tertutup menjadi mitra transparan, membuka data proyek publik secara real time, membentuk Satgas Respons Cepat berbasis masukan media, dan menyelesaikan persoalan sampai ke akar.
Masyarakat juga harus berubah dari penonton pasif menjadi co-creator solusi. Mereka bisa membentuk komunitas pemantau, memverifikasi progres lapangan, bahkan menginisiasi gerakan swadaya terinspirasi liputan media.
Saya pernah bertemu Melani, seorang ibu rumah tangga di pinggiran Palembang. Terinspirasi liputan tentang ibu-ibu India yang mengubah sampah menjadi energi, ia kini memproduksi biogas dari sampah pasar.
Begitu pula pemuda yang mengubah botol plastik menjadi ecobrick setelah menonton tayangan solusi lingkungan. Mereka tidak menunggu pemerintah, mereka bergerak. Karena jurnalisme memberi arah.
Penutup: Mengembalikan Misi Awal Pers
Saya percaya, jurnalisme sejati harus kembali ke akarnya: melayani publik dan menuntaskan masalah bangsa.
Jika kita hanya sibuk mengungkap aib tanpa membantu mencari jalan keluar, kita hanya menjadi bagian dari masalah itu sendiri.
Bangsa ini tidak butuh lebih banyak berita tentang betapa buruknya keadaan. Bangsa ini butuh cerita tentang bagaimana kita memperbaikinya.
“Jurnalisme kebangsaan bukan sekadar menyampaikan kebenaran, tapi mengawal kebenaran itu hingga menjadi kenyataan.”


