MONPERA.ID, Jakarta – Terkait dengan disetop ekspor pertambangan khususnya untuk konsentrat tembaga pada per 1 Januari 2025 oleh pemerintah. Hal itu ditanggapi Prof. Dr. Ahmad Redi,S.H.,M.H. Pengamat Hukum Energi dan Pertambangan.
Menurutnya, untuk hilirisasi di 2025 khususnya dalam segi penerimaan pertambangan berdampak positif. Tetapi, tentu kembali lagi ke Pasal 33 Undang Undang Dasar (UUD), karena air dan juga kekayaan alam tersebut dikuasai negara. Dimana, selama ini pola kegiatan usaha pertambangan hanya dilakukan dengan cara melakukan pengerukan dan mengangkut serta menjualnya.
“Artinya, paradigmanya polo ataupun cara pengelolaan usaha pertambangan kedepan harus dirubah,” katanya kemarin pada acara Market Survei saat diminta sebagai Narsum terkait di stopnya ekspor konsentrat tembaga.
Seperti, yang baru sudah disampaikan. Bahwa, hilirisasi merupakan kata kunci yang tidak hanya berfokus disitu, tapi bagaimana mineral tersebut dapat di modifikasi secara cepat. Karena, hilirisasi salah satu bentuk untuk meningkatkan nilai tambah produk mineral.
Dimana, yang tadinya hanya sebagai biji bauksit dan juga biji nikel. Tapi, kini dapat diolah dan dimurnikan menjadi Firo nikel dan Firo airen. Sehingga, dalam konteks ekonomi pertambangan pastinya memberi dampak besar bagi penerimaan negara kedepan, bebernya.
Selain itu, sama juga seperti keberadaan Smelter PT Gresik yang dibangun oleh PT Freeport. Selama ini diketahui hanya mampu mengakomodir sebanyak 30-40 persen tembaga yang ada di PT Freeport.
“Nah ini komitmen luar biasa dilakukan PT Freeport, meski sudah menjadi punguasaan plat merah untuk membangun smilter tembaga ini,dalam memastikan hilirisasi peningkatan pemanfaatan negara, tegasnya.
Dengan begitu, tentu penerimaan negara di 2025 sangat besar. Karena, ekspor biji nya kini sudah menjadi tembaga bentuk batangan dengan menghasilkan keuntungan berlipat ganda. Sebaliknya, kalau masih tetap mengekspor dalam bentuk biji, sudah dipastikan sangat rendah, urainya.
Jauh ditambahkannya, dalam konteks hukum dan regulasinya. Bahwa, pemerintah sebelumnya sudah berupaya bekerja dengan optimal untuk memastikan semaksimal mungkin kepastian hukum terhadap UU sektor minerba, khususnya UU nomor 03 tahun 2020 termasuk juga hilirisasi minerba dan batubara.
” Nah khusus untuk tembaga dalam konteks hukum memang sudah jelas di UU minerba di pasal 102 dan 103 ada kewajiban untuk hilirisasi terhadap seluruh mineral,” urainya.
Bahkan, pemerintah sudah secara konsisten menerapkan kewajiban untuk seluruh komuditas termasuk tembaga, seperti bagaimana upaya memerintah sekuat mungkin untuk membangun smelter tembaga terbesar didunia yang dilakukan PT Freeport di Gresik.
” Saya kira upaya yang sudah cukup baik dan sangat banyak memberikan manfaat bagi kepentingan bangsa dan negara termasuk dalam konteks keekonomian memastikan seluruh komuditas mineral dan batubara, itu bisa memberikan nilai tambah. Baik, itu dalam lapangan pekerjaan,penerimaan negara termasuk juga komuditas lokal di daerah.
Sementara, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Asosiation (IMA) Hendra Sinidia mengungkapkan, untuk pertambangan di 2024 secara umum, dapat dilihat dari kinerja sektor pertambangan lebih banyak dipengaruhi oleh pola tahlitas harga komuditas.
“Jadi Secara umum cukup baik seperti penjualan tembaga,nikel,timah dan bauksit mengalami peningkatan dari sisi segi produksi, ungkapnya.
Diakuinya, kalau untuk harga mengalami Break Down di beberapa komuditas. Tetapi, harga rata rata masih sama pada sebelumnya. Sementara, untuk nikel sedikit mengalami penurunan di karenakan over suplai, tidak seperti Timah dan bauksit ada peningkatan harga di 2024. Tetapi, untuk produksi tembaga pada kuartal ke tiga di Freeport mineral mengalami peningkatan rata rata sebesar 17 persen.
Kemudian, kalau kita lihat komoditas nikel produksinya cukup banyak 247 juta ton yang ditetapkan ESDM. Tetapi, memang harganya juga mengalami penurunan, dibandingkan dengan tahun 2023, karena terjadi over suplai, sebab Indonesia menguasai lebih kurang 60 persen produksi di dunia, ujarnya.