Diplomat Indonesia dalam Bayang Ancaman: Dari Penembakan di Peru hingga Misteri Lakban di Menteng

MONPERA.ID, Jakarta – Dunia diplomasi Indonesia tengah diguncang dua tragedi memilukan yang menimpa insan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dalam waktu berdekatan. Pertama, penembakan staf Kedutaan Besar RI (KBRI) di Lima, Peru, Zetro Leonardo Purba. Kedua, kematian misterius diplomat muda Arya Daru Pangayunan (ADP) di sebuah kamar kos di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Dua peristiwa ini menimbulkan pertanyaan besar: sejauh mana negara hadir melindungi para diplomatnya, baik di luar negeri maupun di dalam negeri?

Penembakan Brutal di Lima

Zetro Leonardo Purba (40), staf KBRI di Peru, tewas ditembak pria tak dikenal saat pulang ke rumah. Rekaman CCTV menunjukkan pelaku menunggu dengan helm, lalu menembak Zetro tiga kali dari jarak dekat sebelum kabur dengan sepeda motor.

Yang mengejutkan, barang-barang korban tidak diambil. Telepon, tas, hingga sepeda tetap utuh. Pola eksekusi yang rapi menimbulkan dugaan pembunuhan berbayar, bukan sekadar perampokan.

Tragedi ini terjadi di tengah krisis kriminalitas Peru. Data resmi menyebut, sepanjang semester pertama 2025 terjadi lebih dari 6.000 kasus pembunuhan dan hampir 16.000 laporan pemerasan. Kota Lima bahkan digambarkan sebagai sarang geng narkoba dan eksekusi bayaran.

Pemerintah Indonesia melalui Kemenlu telah menuntut investigasi transparan kepada otoritas Peru, serta memastikan pemulangan jenazah Zetro dengan penghormatan negara. Namun, motif dan dalang penembakan hingga kini masih misterius.

Misteri Lakban di Menteng

Beberapa pekan setelah tragedi di Peru, publik Indonesia kembali dikejutkan dengan kematian ADP, diplomat muda Kemenlu, di kamar kosnya di Menteng.

Korban ditemukan dengan kepala tertutup plastik dan wajah dililit lakban kuning—jenis lakban yang lazim digunakan pegawai Kemenlu untuk menandai koper saat perjalanan dinas. Pintu kamar terkunci dari dalam, tanpa tanda kekerasan, dan tidak ada barang yang hilang.

Polisi menyebut tiga kemungkinan penyebab: bunuh diri, kecelakaan, atau pembunuhan. Namun keluarga menolak dugaan bunuh diri, menyatakan ADP adalah pribadi sehat dan penuh dedikasi. Publik pun sulit menerima penjelasan sederhana tanpa investigasi mendalam.

Kondisi ini mengguncang citra Kemenlu. Jika di jantung ibu kota seorang diplomat bisa meninggal dengan cara misterius, bagaimana dengan mereka yang bertugas di daerah rawan di luar negeri?

Ancaman Nyata bagi Diplomat

Sejarah mencatat, diplomat memang kerap menjadi target ancaman. Duta Besar AS untuk Libya, Christopher Stevens, tewas dalam serangan di Benghazi (2012). Kedubes Turki di Somalia dibom al-Shabaab (2013). Indonesia pun pernah diserang, misalnya bom di Kedutaan RI Paris (2004).

Diplomat menjadi sasaran empuk karena simbol negara sekaligus rentan secara fisik. Ancaman datang dari terorisme, kriminal transnasional, hingga intrik politik.

Rapuhnya Sistem Perlindungan

Konvensi Wina 1961 mewajibkan negara penerima melindungi diplomat asing. Namun, perlindungan bagi diplomat Indonesia masih dianggap minim. Indonesia tidak memiliki unit keamanan diplomatik khusus seperti Diplomatic Security Service di AS.

Anggaran pengamanan terbatas, pelatihan keamanan dasar bagi diplomat masih minim, dan sistem dukungan psikososial jarang tersedia.

Jalan ke Depan

Para pengamat menilai tragedi Zetro dan ADP harus menjadi titik balik reformasi perlindungan diplomatik. Beberapa langkah strategis yang mendesak, antara lain:

Membentuk unit keamanan diplomatik nasional.

Memperkuat kerja sama intelijen dan kepolisian internasional.

Menyediakan sistem dukungan psikososial bagi diplomat muda.

Menjamin transparansi komunikasi publik dalam setiap kasus.

Memberikan penghormatan negara bagi diplomat yang gugur.

Antara Duka dan Harapan

Zetro gugur akibat peluru misterius di negeri asing. ADP pergi dalam kesendirian penuh tanda tanya di tanah air. Dua wajah tragedi ini mengingatkan bahwa diplomat adalah “pejuang tanpa seragam” yang mempertaruhkan hidup demi negara.

Jika negara gagal melindungi mereka, diplomasi Indonesia kehilangan fondasi moralnya. Namun jika tragedi ini menjadi momentum pembenahan, maka pengorbanan Zetro dan ADP tidak akan sia-sia.

Tulisan ini dibuat Oleh, Syarman Tjik NG