Praktisi Hukum Jan Maringka: Amandemen sebagai Suatu Kebutuhan

MONPERA.ID, Jakarta – Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) menggelar Dialog Kebangsaan bersama unsur Kelompok Cipayung se-Jabodetabek di sebuah kafe di Bogor, Jumat sore (19/9/2025).

Dialog yang mengusung tema “GMKI: Pulihkan Indonesia, Supremasi Sipil Pilar Memperkuat Negara Demokrasi” ini menghadirkan dua pembicara utama, yakni Praktisi Hukum Dr. Jan Samuel Maringka, SH, MH dan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Kristen Indonesia, Prof. Dr. John Pieris, SH, MH. Acara dipandu oleh Combyan Lombongbitung.

Jan Maringka bukanlah sosok baru di dunia hukum. Ketua Umum Presidium Persatuan Nusantara Indonesia (PNI) ini merupakan jaksa karier yang pernah menjabat Kajari Tarakan, Kajari Serang, Atase Kejaksaan di KJRI Hong Kong, Kajati Maluku, Kajati Sulselbar, hingga menduduki jabatan Jaksa Agung Muda (2017–2020).

Sementara itu, Prof. John Pieris yang juga pernah menjadi anggota DPD RI asal Maluku selama dua periode, bertindak sebagai moderator. Sejumlah penanggap dari Kelompok Cipayung turut hadir, di antaranya Riduan Purba (PP GMKI), Rusli Herman (Ketua PKC PMII Jawa Barat), Lingga Siana (Ketua Pimpinan Daerah KMHDI Jabar), dan Christiardo (Ketua Komda PMKRI Jabar).

Negara Hukum dan Amandemen Konstitusi

Dalam paparannya, Jan Maringka menegaskan bahwa cita-cita pendiri bangsa serta amanah konstitusi menempatkan Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan (machtstaat).

“Amanat ini termaktub jelas dalam pasal-pasal UUD 1945,” ujarnya.

Ia mencontohkan, Pasal 1 ayat 3 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum; Pasal 14 mengatur kewenangan pemberian amnesti dan abolisi; Pasal 24 mengatur kekuasaan kehakiman yang merdeka; serta keberadaan Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi.

Selain itu, Pasal 28 menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat, sementara Pasal 30 ayat 4 menegaskan fungsi Polri dalam menjaga keamanan, ketertiban, serta menegakkan hukum.

Namun, menurut Jan, terdapat kekosongan pengaturan mengenai posisi Kejaksaan dalam UUD 1945. Padahal, dalam Konstitusi RIS, lembaga kejaksaan diatur secara eksplisit. Setelah Dekrit Presiden 1959 yang mengembalikan UUD 1945, keberadaan kejaksaan tidak lagi tercantum dalam konstitusi, melainkan hanya diatur melalui undang-undang.

“Pasca reformasi 1998 sudah empat kali amandemen dilakukan, tetapi lembaga Kejaksaan tetap tidak diatur secara khusus. Akibatnya, kedudukan Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi dalam single prosecution system hanya bertumpu pada undang-undang,” jelasnya.

Perlunya Amandemen Kelima

Jan menekankan pentingnya penguatan posisi Kejaksaan melalui konstitusi agar mandat dan kemandiriannya lebih kokoh. Menurutnya, hal ini sejalan dengan praktik di dunia internasional.

“Dari 135 negara, mayoritas sudah mengatur kedudukan kejaksaan dalam konstitusi. Indonesia pun perlu menata kembali hal ini,” tegasnya.

Untuk itu, ia mengusulkan adanya Amandemen Kelima UUD 1945 yang secara eksplisit mengatur keberadaan Kejaksaan. Rumusan yang diusulkan berbunyi:

Pasal 24D: Kejaksaan menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan yang dipimpin oleh Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi. Susunan, kedudukan, dan kewenangan Kejaksaan diatur dalam undang-undang.

“Dengan demikian, amandemen bukan sekadar pilihan, tetapi sebuah kebutuhan untuk memperkuat negara hukum di Indonesia,” pungkasnya.