KJ Institute Diskusi Publik Soal Putusan MA Terkait Tapal Batas Muba-Muratara

MONPERA.ID, Palembang – Kolegium Jurist Institute, kembali melakukan Kegiatan Diskusi Publik dengan tema  “Eksaminasi Publik terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia,” terkait dengan tapal batas antara Wilayah Kabupaten Musi Banyuasin dengan Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) karena bertentangan dengan UU, yang berlangsung di Hotel Arista Palembang, Rabu (16/10/2024).

Direktur Eksekutif KJ Institute. Assoc. Prof DR Ahmad Redi, SH, MH mengatakan, terkait tapal batas wilayah antara Kabupaten Muba dengan Kabupaten Muratara yang saat ini masih berlangsung. Tentu, dengan ada diskusi publik tersebut, dapat memberikan rekomendasi yang konstruktif dalam memperbaiki berbagai kebijakan mendatang.

“Jadi dengan digelarnya Diskusi Publik ini diharapkan bisa memberikan kebaikan dan kebijakan untuk perbaikan dimasa mendatang,” katanya.

 Apalagi, diskusi publik tersebut dihadiri para narasumber terbaik seperti Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, S.H., M.Hum., yang merupakan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Prof. Dr. Faisal Santiago, S.H., M.M., selaku Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Borobudur.

Selanjutnya, ada juga Prof. Dr. Ibnu Sina Chandranegara, S.H., M.H. selaku Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan  Prof. Dr. Febrian, S.H., M.S. selaku Guru Besar Ilmu Hukum Konstitusi dan Perundang-undangan Universitas Sriwijaya.

Selain itu, diskusi publik juga dihadiri dari berbagai elemen. Mulai dari Akademisi, Pemerintah Daerah di Provinsi Sumatera Selatan, praktisi, jurnalis, termasuk tokoh masyarakat, bebernya.

Diberitauhkannya, bahwa tujuan utama dari diskusi publik merupakan bentuk respon atas polemik tapal batas dari kedua kabupaten tersebut, sejak diterbitkan Permendagri No.76 tahun 2014 tentang batas daerah Kabupaten Muba dengan Kabupaten Muratara di Provinsi Sumsel

Dimana, pada tahun 2014, Permendagri No.76 Tahun 2014 telah mendapatkan sebanyak 3 kali pengujian melalui Mahkamah Agung. Diantaranya, Putusan Mahkamah Agung No. 82 P/HUM/2014, Putusan Mahkamah Agung No. 3 P/HUM/2015, dan Putusan Mahkamah Agung No. 71 P/HUM/2015, tegasnya.

Sementara, Narasumber, Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari,S.H., M.Hum selaku Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah  Surakarta mengungkapkan, bahwa ada sengketa yang sudah ditetapkan oleh peraturan, sehingga sengketa tersebut harus diselesaikan dengan dua pengaturan.

Pertama, peraturan hak uji materi di Mahkamah Agung, kedua, kalau terkait dengan UU dilakukan pengujian UUD di Mahkamah Konstitusi. Karena, kedua peraturan tersebut bisa dilakukan, tetapi tidak serta merta  muncul dari Permendagri No. 76 Tahun 2014, namun dapat juga muncul  dari UU pembentukan Kabupaten Muratara seperti dalam memberikan delegasi yang besar pada Menteri, untuk menetapkan batas wilayah Muratara  secara pasti dilapangan.

“Nah kalimat pasti ini lah yang menimbulkan persoalan, karena peraturan yang sama sudah ada batas batas tapi masih tradisional. Jadi ketika memberikan kewenangan pada Permendagri tenyata ada problem besar disitu, ” ungkapnya.

Dimana, kewenangan pertama yaitu kewenangan delegasi besar yang diberikan pada Menteri dan kedua, partisipasi masyarakat dari kedua wilayah yang terdampak pada pembentukan batas wilayah tersebut. Karena ini, menjadi persoalan tersendiri yang mengacu pada proses putusan MK, misalnya terkait dengan partisipasi publik, dalam artian ada hak untuk didengar pada masyarakat dan kalau ada persoalan harus dipertimbangkan dan dijelaskan apabila ada persoalan, bebernya.