MONPERA.ID, Depok – Terkait dengan kebijakan aksi bagian dari Business Judgement Rules yang dilakukan direksi perseroan, sepanjang korporasinya itu masih sesuai prinsip good corporate governance (GCG), semestinya terlindungi. Karena, di dalam kaitan tersebut tidak dapat dibebankan tanggungjawab secara hukum, meskipun keputusan diambilnya menimbulkan kerugian.
Hal itu dikatakan Pengamat Prof. Dr. Ahmad Red,S.H., M.H pengajar Program Pascasarjana Universitas Borobudur, pada acara seminar bertajuk Kriminalisasi Kebijakan dalam Jerat Pidana Korupsi yang digelar Lembaga Kajian Hukum UI Bersama Katadata Insight Center (KIC), di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Kamis (14/11/2024).
Pengamat yang juga Ahli Bidang Hukum Pertambangan ini. Menurutnya, namun dengan catatan kebijakan yang dibuat memenuhi unsur itikad baik,akuntabel dan dijalankan dengan prinsip kehati hatian, sesuai UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), maka keputusan direksi sudah terlindungi.
Begitu sebaliknya, apabila direksi menjalankan keputusan Perseroan dengan serampangan, punya benturan kepentingan, dan tidak berusaha mencegah kerugian maka menurut Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dapat dikenakan tindak pidana.
“Jadi, apabila aksi korporasi dilakukan itu sesuai prinsip GCG (good corporate governance), direksi sudah dilindungi (UU) sebetulnya,” tegasnya.
Sementara, selaku pembicara sekaligus Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita mengungkapkan, bahwa masih terdapat kontroversi pada pasal 2 dan 3 UU 31 Tahun 1999. “Sekarang dengan Pasal 3, kebijakan menteri bisa dikriminalisasi,” ungkapnya.
Karena, sebagai bagian dari tim perumus UU Tipikor, sebaiknya diusulkan agar kedua pasal tersebut untuk direvisi dan bukan dihapus.
“Nah, kalau misalkan kedua pasal UU Tipikor ini dihapus. Bisa jadi bumerang bagi pemerintahan Prabowo,” tandasnya singkat.
Berbeda, dengan Wakil Ketua KPK periode 2003-2007 ini. Menurutnya, kedua pasal tersebut, sebaiknya dicabut melalui judicial review. Karena, dipandang pasal tersebut sudah tidak relevan dalam upaya pemberantasan korupsi saat ini.
“Jadi kalau dicabut, rumuskan transisi seperti apa (tindakan merugikan negara) yang bisa diproses (hukum). Lalu, untuk memberantas korupsinya bagaimana?Fokus ke suap dan gratifikasi,” jelasnya.
Dimana, sejak orde baru hingga reformasi pasal yang dipakai dalam tindak pidana korupsi dinilai merugikan keuangan negara. Padahal di Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971,itu banyak pasal lain yang menyoal tentang tindak pidana korupsi.
“Jadi, di era akhir orde baru 98 sampai era reformasi masih sama persis. Fokus (aparat penegak hukum) terlalu banyak di pasal merugikan keuangan negara. Hasilnya sama-sama gagal melakukan pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Karena, hingga saat ini untuk jenis korupsi masih banyak terjadi pada kasus suap. Berdasarkan dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia parameter yang sangat penting adalah mengenai suap. Untuk itu, kalau suap tidak diberantas ditakutkan IPK Indonesia bisa terus memburuk.
“Artinya, kalau suap tidak diberantas indeks persepsi korupsi kita akan jelek terus,” ucapnya.
Selanjutnya, untuk frase soal kerugian negara dalam pasal di Undang-Undang Tipikor 1999, perlu diubah karena Indonesia kesulitan untuk meminta sistem bantuan timbal balik dalam masalah pidana atau mutual legal assistance (MLA), pungkasnya.
Sedangkan, Wakil Ketua KPK periode 2007-2011 Chandra Hamzah menerangkan, di negara lain ada dual criminality di mana tindakan kriminal di Indonesia belum tentu dianggap tindakan kriminal juga di negara lain. Sehingga, penggunaan frasa kerugian negara dalam pengusutan tindak pidana korupsi akan sulit dipahami negara lain seperti di Amerika Serikat, dalam kerja sama penyidikan yang dikenal istilahnya adalah suap.
“Dalam rezim hukum, negara mana yang ada frasa kerugian negara? Untuk MLA dengan negara lain, saat kerja sama penyidikan di Amerika Serikat, (namanya) suap. Vocabulary-nya sama, suap,” terangnya.